Thomas Merton Hadir di Pusuk Buhit
Terkadang, aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi Sisifus.
Entah dia bahagia atau tidak, seperti yang pernah diasumsikan oleh Albert Camus, aku sedikit banyak paham rasanya mengerjakan sesuatu secara berulang-ulang. Namun, untuk kasusku, repetisi membuatku merasa tidak bahagia-bahagia amat. Sedihnya.
Pun kalau boleh dibilang, aku lebih suka membayangkan diriku menjadi Atlas. Karena satu dan lain hal, kisah tragis tapi lucu sang titan begitu meresonansi dalam pikirku. Ide tentang memikul dunia dan bebannya seorang diri terdengar tidak asing buatku. Sedihnya (lagi).
Singkat kata, karena sedikit kebetulan yang direncanakan, aku terdampar di tepi Danau Toba dengan tanggung jawab untuk mengabdi. Bodohnya, aku malah terjebak dalam situasi yang membingungkan.
“Jangan melawan waktu dan selamat terombang-ambing”, begitu kata Ibu ketika aku menceritakan situasi pelikku. Meskipun kesannya normatif, rasanya menenangkan. Kasih sayang seorang ibu memang tidak ada gantinya. Namun, aku butuh ketenangan lebih. Ketenangan yang hanya didapat melalui usaha sendiri. Hari esoknya, menjelmalah aku menjadi Sisifus.
Aku mendaki Gunung Pusuk Buhit.
Tidak ada hal yang mengejutkan atau yang memberikan kesan dalam perjalanan dari pondokan sampai kembali lagi. Wajarnya mendaki, ada momen-momen yang menurutku sudah terlampau biasa. Saat kembali ke tempat tinggal di desa. Aku mengada-ngada sepotong ayat. Kira-kira begini bunyinya:
Dalam kesepian yang memuncak, manusia akan menyadari kehadiran Tuhan yang tak terlihat. Begitulah kiranya kata Thomas Merton dalam No Man is an Island. Ide tersebut, sadar tidak sadar atau suka tidak suka, pasti diamini sebagian dari kita. Jika boleh cocoklogi, mungkin saja dorongan tersebut yang membuat media-media yang dikeramatkan dari ragam budaya dan ritus hadir di tempat-tempat yang sulit dijamah orang kebanyakan. Belajar dari hal tersebut, semoga kita semua dapat senantiasa menghadirkan Tuhan di hati yang ditusuk-tusuk sepi.
Setelah melakoni peran Sisifus selama sehari ditambah beragam peristiwa yang terjadi belakangan, aku sampai pada satu simpulan. Aku akan terus menjadi Atlas, sampai aku punya keberanian untuk berbagi beban dunia ini.
“Payah”, begitu umpatku pada diri sendiri.
Samosir
28 Juli 2023